Dalam budaya Jawa tradisional, keris tidak semata-mataa dianggap sebagai senjata tikam yang memiliki keunikan bentuk maupun keindahan pamor, akan tetapi juga sebagai kelengkapan budaya spiritual. Ada satu anggapan yang berlaku di kalangan Jawa tradisional yang mengatakan, seseorang baru bisa dianggap paripurna jika ia sudah memiliki lima unsur simbolik: curiga, turangga, wisma, wanita, kukila.
Curiga, secara harafiah artinya keris, turangga artinya kuda atau kendaraan (simbol masa kini adalah motor atau mobil), wisma adalah rumah, wanita arti khususnya isteri, dan kukila arti harafiahnya adalah burung. Arti simbolik burung di sini, bagi seorang pria Jawa tradisional, ia harus mampu mengolah, menangkap dan menikmati keindahan serta berolah-seni. Curiga, atau keris, secara simbolik maksudnya adalah kedewasaan, keperkasaan dan kejantanan. Seorang pria Jawa tradisional, harus tangguh dan mampu melindungi diri, keluarga atau membela negara. Perlambangnya adalah keris.
Pada zaman kerajaan-kerajaan di masa lalu, tanda mata paling tinggi nilainya adalah keris. Pemberian paling berharga dari seorang Raja Jawa kepada para perwiranya atau abdi dalem, adalah keris.
Pada perkembangannya, keris di lingkungan kerajaan bisa menjadi simbol kepangkatan. Keris seorang Raja, tentu saja berbeda dengan keris perwira atau abdi dalem bawahannya. Tidak hanya bilah kerisnya saja yang berbeda, akan tetapi juga detil-detil perhiasan serta perabot yang melengkapinya pun berbeda.
Gradasi kepangkatan dari pemilik keris, juga bisa ditilik dari warangka yang menyarungi atau membungkus bilah keris. Warangka seorang Raja, tentu saja berbeda dengan warangka bawahannya. Bila seorang ksatria, tepat kiranya bila warangka yang dipakainya adalah warangka dengan wanda (model) kasatriyan. Pejabat kerajaan, memakai warangka kadipaten. Ada lebih dari 25 varian warangka Jawa di masa lalu yang bisa menjadi indikator kepangkatan pemiliknya. Bahkan daerah asal pun bisa ditilik dari warangkanya, apakah pemiliknya orang dari Yogyakarta, Surakarta, Banyumas, Jawa Timur, Madura atau Bali.
PAMOR KERIS
Pamor merupakan hiasan atau motif atau ornamen yang terdapat pada bilah tosan aji (Keris, Tombak, Pedang atau Wedung dan lain lainnya). Hiasan ini dibentuk bukan karena diukir atau diserasah (Inlay) atau dilapis tetapi karena teknik tempaan yang menyatukan beberapa unsure logam yang berlainan.
Teknik tempa ini sampai saat ini hanya dikuasai oleh para Empu dari wilayah Nusantara dan sekitarnya saja (Malaysia, Brunei, Philipina dan Thailand) walau ada yang berpendapat asal teknik ini dari Tibet atau Nepal, tetapi pendapat tersebut tidak beralasan sama sekali.
Diluar wilayah Nusantara dan sekitarnya biasanya hanya dikenal teknik Inlay saja seperti pedang dari Iran atau negara Eropa lainnya sehingga walau secara seni (art) tampak indah tetapi kesan “Wingit” nya tidak ada sama sekali.
Ada kalanya Pedang buatan Empu diluar wilayah Nusantara terdapat juga Pamor, tetapi biasanya karena tanpa sengaja sewaktu dibuat pedang tersebut tercampur beberapa logam lainnya yang mengakibatkan timbulnya pamor tersebut, kadangkala munculnya pamor tersebut setelah pedang tersebut berumur ratusan tahun.
Ini pula yang mungkin menjadi dasar Empu diwilayah Nusantara (Khususnya Jawa) yang mengolah cara pencampuran berbagai logam sehingga terbentu pamor yang indah dan bernilai seni tinggi.
Bahan pamor ini oleh kebanyakan penulis dari barat dikatakan dari bahan Nikel, padahal ini salah sama sekali karena berdasarkan penelitian oleh Bapak. Haryono Aroembinang MSc (alm) dan beberapa ahli di BATAN Jogjakarta didapat bukti bahwa bahan itu adalah Titanium, suatu bahan yang baru pada abad 20 digunakan sebagai bahan pelapis kendaraan angkasa luar, padahal empu kita sudah menggunakannya dari dulu. Ini diterangkan sebagai berikut, ketika meteor masuk ke atmosfir bumi maka sebagian besar bahan tembaga, besi, nikel, timbel, kuningan terbakar hancur dan hanya titanium yang bertahan sampai bumi. Bahan baku pamor dahulu dibuat dari meteor yang terdapat dibumi sehingga keris jaman dulu banyak mengandung Titanium dan beratnya juga ringan.
Terkenal dulu bahan pamor dari Luwu, Sulawesi Selatan yang dibawa oleh pedagang dari Bugis.
Bahan Pamor yang paling terkenal adalah Pamor Prambanan, saat ini ada di Kraton Surakarta diberi nama Kanjeng Kyai Pamor dan ukurannya sekarang tinggal sekitar 60x60x80 Cm sebesar meja kecil karena sudah banyak digunakan empu membuat karis pesanan dari Kraton.
Setelah bahan meteorit susah didapat, barulah bahan Nikel digunakan, sehingga keris saat ini bobot nya biasanya lebih berat dari keris kuno.
PAMOR MLUMAH, PAMOR MIRING
Dilihat dari cara pembuatannya sebetulnya hanya dua cara pembuatan Pamor yang baik yaitu Mlumah dan Miring. Pamor mlumah adalah lapisan-lapisan pamornya mendatar sejajar dengan permukaan tosan aji sedangkan pamor miring lapisan pamornya tegak lurus permukaan bilah.
Ada juga tosan aji yang dibuat dengan kombinasi pamor mlumah dan miring hanya saja pembuatannya sangat sulit, lebih sulit dari pembuatan pamor miring.
Pamor Mlumah biasanya bermotif Beras Wutah, Ngulit Semangka, Satria Pinayungan, Udan Mas, Wulan-wulan dan sebagainya, sedangkan Pamor Miring umumnya motif Adeg, Batu Lapak, Sodo Saeler, Tumpuk dll. Kesan Pamor Miring agak kasar bila diraba bilahnya dan nyekrak dibanding pamor mlumah.
Apabila lipatannya banyak, baik di pamor mlumah atau miring, maka hasilnya kemungkinan akan menjadi pamor luluhan, praktis pamor dan besi sudah “menyatu” walau tidak terlalu homogen, ini akan terlihat dengan menggunakan kaca pembesar.
Pamor luluhan yang gampang terlihat antara lain di keris buatan Empu Pitrang dijaman Blambangan, diantara pamor Adeg pada beberapa bagian bilah tampak pamor luluan yang sepintas seperti pamor Nggajih.
Kalau lipatannya lebih banyak lagi seperti buatan Empu Pangeran Sedayu maka pamor luluhan ini tidak tampak dengan mata telanjang dan sangat kecil atau tiad mungkin kena karat karena menyatunya bahan pamor dengan bahan besinya.
Cara lainnya
Ada cara lain membuat pamor selain Mlumah dan Miring yaitu dengan cara mengoleskan bahan pamor ke bilah, biasanya bukan dari batu meteorit tetapi logam yang titik leburnya lebih rendah dari besi, caranya dengan menuangkan bahan tersebut yang cair kebilah besi yang membara kemudian dioleskan dengan ujung mancung (kelopak bunga) kelapa sebelum bahan cair tersebut mengeras dan dibuat pamor yang dikehendaki si Empu. Hasilnya umumnya kasar bila diraba dan pamor ini disebut Ngintip (dari Intip/Kerak nasi).
Cara ini hanya digunakan Empu luar keraton, empu Desa atau disebut juga empu Njawi.Ada lagi cara membuat pamor dengan menyiramkan bahan pamor cair ke bilah membara dari pangkal keris keujungnya, pamornya dinamakan Nggajih karena menyerupai lemak.
PAMOR REKAN dan PAMOR TIBAN.
Sewaktu membuat keris, Sang Empu berpasrah diri kepada Tuhan YME dan menyerahkan saja bagaimana bentuk pamor yang terjadi maka biasanya pamor yang timbul disebut pamor Tiban, sedangkan bila selama pembuatan direka oleh sang Empu maka pamor yang terjadi disebut pamor rekan.
Pamor rekan sering juga gagal dalam pembuatannya, misal sang empu ingin membuat pamor Ron Genduru tetapi jadinya malah Ganggeng Kanyut.
Sebenarnya agak sulit membedakan mana pamor rekan atau tiban karena bisa dilihat dari sudut pandang yang berbeda-beda.
PAMOR MUNGGUL
Banyak yang menganggap pamor ini pamor titipan, selain itu banyak yang menganggap ini sebagai pamor tiban karena tidak bisa dibuat secara sengaja.
Pamor ini seperti bisul menonjol sekitar 1 mm diatas permukaan bilah umumnya berbentuk lingkaran, baik bulat atau lonjong tetapi ada yang berbentuk gambar membujur lancip panjang. Letaknya bisa dibagian sor-soran, tengah ataupun pucuk. Bisa ditepi atau tengah bilah dan termasuk pamor yang baik serta dicari banyak orang.
Bagaiman pamor ini timbul tidak bisa diterangkan secara pasti, tetapi diduga saat “masuh” atau membersihkan bahan keris dari kotoran, ada unsur logam lain yang menyelip dan lebih keras dari unsur logam besi, tetapi ini baru dugaan saja.
PAMOR AKHODIYAT
Namanya kadang Akordiyat, Kodiyat atau Akadiyat. Wujudnya menyerupai lelehan dari tepi bentuk pamor dengan warna putih cemerlang keperakan dan lebih cemerlang dibanding keputihan pamor pada umumnya.
Ada yang menganggap sebagai pamor titipan atau “sifat” dari pamor tersebut, ternyata semua salah.
Sebetulnya ini terjadi karena penempaan pamor tersebut dilakukan pada suhu yang tepat yang berbeda setiap bahannya, jadi susah diduga berapa suhu yang tepat itu, sehingga banyak yang sepakat bahwa pamor ini dikategorikan ke pamor tiban.
Di Madura biasa disebut pamor “dheling”, kalau tersebar dipermukaan bilah disebut “dheling setong” dan dianggap mempunyai tuah baik.
Pamor dheling yang terbaik terdapat di pucuk bilah dan disebut “dheling pucuk” dan atau dibagian peksi yang disebut “dheling peksi”.
PAMOR TITIPAN.
Pamor ini berbentuk rangkaian kecil yang merupakan perlambang atau tuah tertentu dan pamor ini jarang berdiri sendiri, umumnya tergabung dengan pamor lain yang lebih dominan, antara lain Beras Wutah, Pulo Tirto atau Pendaringan Kebak.
Pamor ini ada yang merupakan pamor tiban, tidak sengaja dibuat seperti Pamor Rahala, Dikiling, Inkal, Putri Kinurung, Gedong Mingkem, Jung Isi Dunya, Telaga Membleng dll.
Pamor titipan yang merupakan pamor rekan antara lain yang terkenal adalah Kuto Mesir, Kul Buntet, Udan Mas, Watu Lapak dll.
Pamor Titipan yang merupakan pamor tiban dibuat bersama dengan pamor lainnya sedangkan yang rekan biasanya dibuat setelah pamor dominan jadi, merupakan pamur yang disusulkan.
DHAPUR KERIS
Dhapur Lurus
1. Betok
2. Brojol
3. Cengkrong
4. Cundrik
5. Gajah Singa
6. Singa
7. Jaka Lola
8. Kebo Lajer
9. Jalak Dinding
10. Jalak Ngore
11. Jalak Nguwung
12. Jalak Tilam Sari
13. Jalak Sumelang Gandring
14. Jalak Sangu Tumpeng
15. Jamang Murub
16. Sardula Mangsah
17. Kebo Dhendeng
18. Dhuwung
19. Kebo Dhungkul
20. Lar Ngatap
21. Kelap Lintah
22. Regol
23. Laler Mangeng
24. Sineba
25. Mesem
26. Temanggung
27. Mundharang
28. Ron Teki
29. Pasupati
30. Mangkurat
31. Putut
32. Pinarak
33. Panji Nom
34. Panji Penganten
35. Karna Tinandhing
36. Sampur
36. Cadhong
37. Sempaner
38. Kalamisani
39. Sepang
40. Yuyu Rumpung
41. Singa Sangu Tumpeng
42. Sona
43. Sinom
44. Sinom Wora Wari
45. Sujan Ampel
46. Kebo Teki
47. Semar Petak
48. Karsesa
49. Tilam Sari
50. Kala Munyeng
51. Tilam Upih
52. Pulang Geni [A]
53. Tebu Sauyun
54. Condong Campur
55. Semar Tinandu
Luk 3
1. Campur Bawur A/B2. Lara Siduwa
3. Mahesa Nempuh
4. Pudhak Jangkung
5. Segara Winotan
6. Tebu Saoyotan
7. Sembada
8. Urubing Dilah 9. Panji Caluring
10. Jangkung
11. Jangkung Mayang
12. Jangkung Pacar
13. Jangkung Segoro Winotan
14. Bango Dolok
15. Mayat
16. Lar Monga
Luk 5
Luk 7
Luk 9
Luk 11
1. Sabuk Inten
2. Bandotan
Luk 13
Luk 15
1. Bima Krodha
2. Mahesa Nyabrang
3. Sedhet 4. Carita Buntala
5. Rangga Pasung
6. Rangga Wilah
Luk 17 - 29
1. Ngampar Buta
2. Lancingan
3. Trimurda
4. Kalatinantang
5. Trisirah 6. Drajit
7. Bima Rangsang
8. Ranggawirun
9. Kalabendu
10. Ranggawulung
BAGIAN KERIS
UKIRAN - Jejeran - Handel - Deder - Hulu Keris
Ukiran, Jejeran, Handel, “Hilt”, Deder, Pegangan, Hulu keris atau apa saja namanya merupakan suatu bentuk benda untuk tempat pegangan tangan dari sebuah tosan aji.
Kebanyakan terbuat dari bahan kayu yang keras, berserat bagus dan gampang dibentuk, logam atau tulang, tanduk serta gading gajah. Terbanyak dibuat dari kayu Tayuman (Caesia laevigata Willd), Cendana, akar kayu jati, akar mawar hutan atau Kemuning (Murraya paniculata Jack.) dengan ukiran yang kadang melambangkan suatu maksud tertentu.
Benda ini kelihatannya sederhana tetapi sebetulnya merupakan suatu
kesatuan utuh dengan tosan aji tersebut dan tidak terpisahkan. Keindahan
suatu keris dinilai pertama kali dari ukirannya karena ini yang
langsung terlihat, pamor dan besi keris sendiri tersembunyi didalam
rangka.
Kadang kita melihat keris dengan gaya Jogjakarta tetapi mempunyai hande gaya Solo atau sebaliknya, ini menunjukan bahwa yang bersangkutan tidak mengetahui bahwa Ukiran tersebut bisa juga merefleksikan tempat asal tosan aji tersebut dan juga berkaitan dengan perlengkapan tosan aji yang lainnya seperti rangka, mendak, selut atau pendok.
Bagi para pecinta tosan aji terutama yang baru mulai, adalah sangat penting memperhatikan hal-hal kecil seperti apakah ukiran yang dipakai tersebut memang sesuai dengan keris yang dipunyainya, jangan sampai contohnya orang dengan pakaian jas yang sangat rapih tetapi memakai sepatu olah raga.
Kadang kita melihat keris dengan gaya Jogjakarta tetapi mempunyai hande gaya Solo atau sebaliknya, ini menunjukan bahwa yang bersangkutan tidak mengetahui bahwa Ukiran tersebut bisa juga merefleksikan tempat asal tosan aji tersebut dan juga berkaitan dengan perlengkapan tosan aji yang lainnya seperti rangka, mendak, selut atau pendok.
Bagi para pecinta tosan aji terutama yang baru mulai, adalah sangat penting memperhatikan hal-hal kecil seperti apakah ukiran yang dipakai tersebut memang sesuai dengan keris yang dipunyainya, jangan sampai contohnya orang dengan pakaian jas yang sangat rapih tetapi memakai sepatu olah raga.
Ada pula orang yang justru karena sesuatu hal (mungkin karena takut
mistis dari tosan aji tersebut atau alasan lain) tidak mengkoleksi tosan
aji, akan tetapi justru mempunyai koleksi ukiran cukup banyak dan
bervariasi, ini menunjukan bahwa ukiran sudah merupakan suatu seni
tersendiri yang mencirikan suatu daerah tertentu dan bisa terlepas dari
bentuk tosan aji seutuhnya.
Sayangnya saat ini sudah semakin sedikit pengrajin ukiran (di Jawa namanya Mranggi), apalagi yang masih mengikuti pakem atau aturan yang baku, ini mungkin disebabkan lamanya membuat ukiran tersebut yang bisa 4 hari (dari masih berbentuk bahan samapi jadi) bahkan lebih kalau menggunakan gading atau logam sedangkan hasil yang diperoleh tidaklah sebanding dengan tenaga dan pikiran yang digunakan. Belum lagi apabila ukiran tersebut disesuaikan dengan sifat atau watak sipemesan, bila wataknya halus maka sebaiknya ukiran tersebut bisa mencerminkan sifat tersebut. Selain itu juga bahan pembuatnya yang termasuk kualitas baik juga semakin jarang (kayu Tayuman misalnya) sehingga harga dari ukiran tersebut juga tidak terlalu tinggi, padahal ketelitian dan usaha membuatnya hampir sama antara ukiran dengan bahan yang baik dengan bahan yang biasa saja padahal harganya bisa berlipat kali perbedaannya.
Biasanya pengrajin ukiran menggunakan kayu “blak” atau contoh “molding” yang biasanya terdiri dari 4 bagian untuk membuat ukiran tersebut (khususnya untuk ukiran dari Jawa Tengah) yang bisa ditrapkan dan dipaskan untuk diterapkan kepada ukiran yang sedang digarap, ini untuk menjaga agar ukuran dan ciri ukiran tersebut standard , karena beda bentuknya sedikit saja maka ukiran tersebut sudah jatuh nilainya, yang membedakan mutu tinggal di “seni ukir” dan kehalusan serta ketelitian dari si pengrajin saja ditambah mungkin motif kayu yang tepat (ada kendit atau polengnya).
Pada beberapa tosan aji, antara ukiran dan tosan ajinya menyatu merupakan satu kesatuan bahan, ini biasanya disebut “deder iras”, umumnya terdapat dikeris kuno yang dikenal dengan sebutan “Keris Majapahit”, walau ini merupakan ungkapan yang salah kaprah karena belum tentu tosan aji itu buatan jaman Majapahit.
Sayangnya saat ini sudah semakin sedikit pengrajin ukiran (di Jawa namanya Mranggi), apalagi yang masih mengikuti pakem atau aturan yang baku, ini mungkin disebabkan lamanya membuat ukiran tersebut yang bisa 4 hari (dari masih berbentuk bahan samapi jadi) bahkan lebih kalau menggunakan gading atau logam sedangkan hasil yang diperoleh tidaklah sebanding dengan tenaga dan pikiran yang digunakan. Belum lagi apabila ukiran tersebut disesuaikan dengan sifat atau watak sipemesan, bila wataknya halus maka sebaiknya ukiran tersebut bisa mencerminkan sifat tersebut. Selain itu juga bahan pembuatnya yang termasuk kualitas baik juga semakin jarang (kayu Tayuman misalnya) sehingga harga dari ukiran tersebut juga tidak terlalu tinggi, padahal ketelitian dan usaha membuatnya hampir sama antara ukiran dengan bahan yang baik dengan bahan yang biasa saja padahal harganya bisa berlipat kali perbedaannya.
Biasanya pengrajin ukiran menggunakan kayu “blak” atau contoh “molding” yang biasanya terdiri dari 4 bagian untuk membuat ukiran tersebut (khususnya untuk ukiran dari Jawa Tengah) yang bisa ditrapkan dan dipaskan untuk diterapkan kepada ukiran yang sedang digarap, ini untuk menjaga agar ukuran dan ciri ukiran tersebut standard , karena beda bentuknya sedikit saja maka ukiran tersebut sudah jatuh nilainya, yang membedakan mutu tinggal di “seni ukir” dan kehalusan serta ketelitian dari si pengrajin saja ditambah mungkin motif kayu yang tepat (ada kendit atau polengnya).
Pada beberapa tosan aji, antara ukiran dan tosan ajinya menyatu merupakan satu kesatuan bahan, ini biasanya disebut “deder iras”, umumnya terdapat dikeris kuno yang dikenal dengan sebutan “Keris Majapahit”, walau ini merupakan ungkapan yang salah kaprah karena belum tentu tosan aji itu buatan jaman Majapahit.
ACCESORIS KERIS
Mendak Gaya Surakarta
Mendak Gaya Yogyakarta
Macam Model Sarung Keris
SumberArtikel Dari : Heritage Of Java
http://www.heritageofjava.com/portal/